Kamis, 08 November 2012

Semua Kawan Semua Lawan, Hanya Kepentingan dan Kekuasaan

Mahasiswa Unej Tolak Pelantikan Dekan Fakultas Hukum

Jember - Puluhan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember (uUnej) yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Peduli Fakultas Hukum (Formadhu), berunjukrasa di depan kantor pusat Unej, Selasa (23/10/2012). Mereka menolak pelantikan Dekan Fakultas Hukum yang baru, Widodo.

Koordinator Formadhu Cita Astungkoro Sukmawirawan mengatakan, Dekan Fakultas Hukum yang dilantik sekarang ini, bukan cerminan hasil rapat Senat Fakultas Hukum. Sebab hasil rapat Senat sebelumnya merekomendasikan Sugiono sebagai Dekan.


"Dalam pemilihan di rapat senat Widodo kalah suara dengan Sugiono. Widodo mendapat 10 suara, sedangkan Sugiono 11 suara," kata CiTa.


Oleh karena itu, mahasiswa terkejut dan tidak terima ketika justru yang dilantik adalah Widodo. "Ini merupakan cerminan matinya demokrasi di Unej," tambah Cita.


Menurut Cita, secara tidak langsung rapat staf fakultas hanya dianggap hiasan pemilihan Dekan. Senat tidak lagi menjadi pihak yang berperan dalam penentuan pencalonan dan penentuan dekan fakultas.


"Hal ini sudah nyata terjadi di fakultas hukum. Pemilihan dekan yang dilaksanakan rapat senat tidak dihiraukan bahkan tidak dilaksanakan oleh Rektor Unej. Kalau pertimbangan dalam pengangkatan dekan menjadi hak prerogatif Rektor, terus suara senat mau dibawa ke mana?" teriak Cita berapi-api.


Dalam aksi mahasiswa itu tak satu pun pihak rektorat yang menemui mahasiswa. Sejumlah satpam tampak bersiaga di depan pintu kantor Rektorat.

Sumber : surabaya.detik.com


Pelantikan Dekan Di Universitas Jember, Diwarnai Dengan Unjuk Rasa Dosen Dan Mahasiswa

Pelantikan Dekan Fakulas Di Kampus Universitas Jember, Selasa pagi, diwarnai aksi unjuk rasa dosen dan mahasiswa dari Fakultas Hukum. Sempat terjadi kericuhan antara pengunjuk rasa dengan satpam setempat, karena satpam berusaha memadamkan api dari ban bekas, yang sengaja dibakar pengunjuk rasa.
Salah satu Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Yusuf Adiwibowo menuding, Rektor Universitas Jember telah berbuat otoriter, dalam proses pengangkatan dekan Fakultas Hukum yang baru.
Ini terbukti lanjut Yusuf, pada saat proses pemilihan dekan di tingkatan senat fakultas, Sugiono memperoleh dukungan sebanyak 11 suara, sedangkan Widodo Eka Cahyana mendapat dukungan 10 suara. Namun setelah diajukan kepada universitas, justru rektor mengangkat Widodo Eka Cahyana sebagai dekan fakultas hukum yang baru.
Padahal menurut Yusuf, rektor semestinya melihat peringkat suara pada saat pemilihan. Apalagi lima dekan baru yang juga dilantik pagi ini, merupakan peringkat pertama pada saat pemilihan di tingkatan senat.
Untuk itu Yusuf meminta kepada Rektor Universitas Jember, untuk segera menganulir dan mencabut, keputusan pengangkatan Widodo Eka Cahyana, sebagai dekan fakultas hukum, karena telah mencederai proses demokrasi di kampus.
Menanggapi tuntutan pengujuk rasa, Rektor Universitas Jember Mohammad Hasan menegaskan, jika keputusan pengangkatan Widodo Eka Cahyana, sebagai dekan fakultas hukum yang baru sudah final.
Hasan menambahkan, pengangkatan widodo sebagai dekan fakultas hukum, merupakan hak preogratif dirinya sebagai rector. Sebab hasan yakin, jika widodo mampu membawa fakultas hukum lebih maju, daripada periode sebelumnya.
Terkait penolakan dari mahasiwa dan dosen, menurut hasan, dalam proses demokrasi, hal seperti sudah biasa. Untuk itu ia meminta kepada widodo, untuk segera melakukan dialog dengan seluruh elemen fakultas hukum, agar persoalan tersebut bisa segera diselesaikan.

Sumber : kissfmjember.com


Calon Dekan Fakultas Hukum Ancang- Ancang Gugat Rektor Unej

Calon Dekan Fakultas Hukum, Sugiono, mengancam akan menggugat Rektor Universitas Jember, Mohammad Hasan, Ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Kepada sejumlah wartawan Sugiono menjelaskan, setelah ia mempelajari sejumlah aturan, ternyata ada satu tahapan yang tidak dilakukan rektor. seharusnya hasil pemilihan dekan di tingkatan senat fakultas, disahkan terlebih dahulu oleh senat universitas.
Baru kemudian lanjut Sugiono, rektor melakukan penetapan dari keputusan senat tersebut. namun faktanya, proses tersebut tidak dilakukan. rektor terburu- buru menetapkan dekan, sebelum ada pengesahan dari senat universitas.
Ia mengaku, saat ini pihaknya sedang mempersiapkan materi gugatan, sambil menunggu klarifikasi dari rektor, terkait surat yang dilayangkan 11 anggota senat kepada rektor. jika memang belum ada titik temu, sugiono memastikan akan menyeret rektor unej ke meja PTUN.
Sementara itu, Rektor Universitas Jember Mohammad Hasan, belum bisa dikonfirmasi. Namun sebelumnya, Hasan menyatakan, jika kebijakannya tersebut telah final. Widodo Eka Tjahjana dipilih menjadi dekan fakultas hukum, karena dinilai bisa membawa fakultas hukum ke arah yang lebih baik.
Hasan mengaku, sesuai aturan, rektor berhak menggunakan hak preogratif, untuk menentukan siapa dekan yang dinilai memiliki kemampuan, serta kapasitas yang mumpuni, memimpin sebuah fakultas.
Sumber : kissfmjember.com

Rabu, 25 Juli 2012

Hukum Agraria


Pengertian Hukum Agraria

Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin agre berarti tanah atau sebidang tanah . agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum agrarian dalam arti luas  yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang mengatur mengenai permukan atau kulit bumi saja atau pertanian.Hukum agraria dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Agraria berarti 1) urusan pertanian atau tanah pertanian; 2) urusan pemilikan tanah. Sedangkan pengertian Hukum Agraria adalah keseluruhan kaedah hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria; hukum yang mengatur tentang pemanfaatan bumi, air dan ruang angkasa. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Hukum Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria/ UUPA) tidak memberikan pengertian Agraria maupun Hukum Agraria, hanya memaparkan ruang lingkup agrarian sebagaimana yang tercantum dalam konsideran pasal-pasal maupun penjelasannya. Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (BARAKA). Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agrarian/ sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.





Definisi hukum agraria

Mr. Boedi Harsono

Ialah kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Drs. E. Utrecht SH

Hukum agraria menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat administrasi yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka.

Bachsan Mustafa SH

Hukum agrarian adalah himpunan peraturan yang mengatur bagaimana seharusnya para pejabat pemerintah menjalankan tugas dibidang keagrariaan



Dualisme Hukum Agraria

Dasar politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu medapatkan hasil bumi atau bahan mentah dengan harga yang serendah-rendahnya, kemudian dijual dengan harga yang setinggi tingginya. Tujuannya ialah tidak lain mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa Kolonial yang merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha belanda dan Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam.

Pemerintahan belanda di dalam menyusun perundang-undangan menganut asas konkordansi. Penyusunan KUH perdata Indonesia juga konkordansi dengan Burgerlijk Wetboek Belanda. Bw belanda ini disusun berdasarkan Code Civil Perancis, yang merupakan pengkondifikasian hukum perdata perancis sesudah revolusi perancis tahun 1789. oleh karena itu kuh perdata melalui burhgerlijk wetboek belanda dan code civil perancis, pasti berjiwa liberal individualistik. Revolusi perancis adalah suatu revolusi yang brsifat borjuis, yang berjiwa liberal individualistis, sebagaimana diartikan bahwa individual liberaslisme paham yang mengatakan manusia itu dominan pada sisi individu dan pada masing-masing individu itu melekat nilai-nilai kebebasan yang mutlak dihormati orang lain. Hukum itu harus bias menjamin kebebasan individu termasuk kebebasan untuk memiliki dan menguasai tanah. Negara Negara yang telah maju mencapai sosialisai masyarakat sesudah mencapai puncak liberalisme dan individualisme, yang dilaluinya dalam jangka waktu kurang lebih 4 setengah abad semenjak permulaan jaman Renaissance sekitar abad ke 15 sampai kepada puncak kapitaisme pada akhir abad ke 19 permulaan abad ke 20 ini. Berhubung dengan itu gerakan sosialisasi dan fungsionalisasi merupakan usaha manusia Negara-negara maju untuk meratakan keadilan masyarakat dengan mengembalikan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, oleh sebab dijaman kapitalisme kepentingan individu terlalu di pentingakan dengan mengabaikan kepentingan umum.

Dengan masuknya hukum yang berasal dari barat (belanda) sistem pemilikan di Indonesia makin dipermodern. Tetapi agaknya penerapan hokum nbarat di Indonesia makin dipermodern itu dalam banyak hal dan seyogyanya menimbulkan pertentangan pertentangan karena hokum barat tersebut masih pula diterapkan dengan tendensi politik penjjhan, politik penjajahan yang menekankan pada nafsu dagang dan kecendrungan politik kolonial itu membuat penerapan hukum tersbt tidak lagi semurni apa yang dianut dan hidup di eropa. Dalam jaman penjajahan belanda, sistem pengauasaan tanah oleh masyarakat dibentuk sistem baru yang disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan mereka selaku penjajah. Maka tidak mengherankan jika dan banyak hal melemahkan sendi-sendi hukum yang asli milik Indonesia. Maka terjadilah dualisme hukum pertanahan di Indonesia. Hukum barat bagi orang eropa dan golongan asing lainnya yang dipersamakan dengan orang eropa, dan dipihak lain berlaku hokum adat bagi orang Indonesia pribumi.



Tujuan  Undang Undang No. 5 Tahun 1960 PA

Undang-undang Pokok agraria mempunyai tujuan antara lain ;

1.      Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan & keadilan bagi negara& rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil & makmur

2.      Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan & kesederhanaan hukum pertanahan

3.      Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat



Hak Atas Tanah

Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.

Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo pasal 53 UUPA, antara lain:

1.      Hak Milik

2.      Hak Guna Usaha

3.      Hak Guna Bangunan

4.      Hak Pakai

5.      Hak Sewa

6.      Hak Membuka Tanah

7.      Hak Memungut Hasil Hutan

8.      Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.

Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak–hak yang dimaksud antara lain ;

1.      Hak gadai,

2.      Hak usaha bagi hasil,

3.      Hak menumpang,

4.      Hak sewa untuk usaha pertanian.



Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut menimbulkan pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas–asas Hukum Tanah Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak–hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut adalah pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan dalam hak–hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan budaknya. Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang di Indonesia yang oleh karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat hanya menunngu perintah dari penguasa tertinggi. Sutan Syahrir dalam diskusinya dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika (1948) mengatakan bahwa feodalisme itu merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan Indonesia dari pemerintahan yang sewenang–wenang dan mencapai kesejahteraan masyarakat. Pada saat itu, Indonesia baru saja selesai dengan pemberontakan G 30 S/PKI. Walaupun PKI sudah bisa dieliminir pada tahun 1948 tapi ancaman bahaya totaliter tidak bisa dihilangkan dari Indonesia. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak–hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :

1.      Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :

a.       Hak Milik

b.      Hak Guna Usaha

c.       Hak Guna Bangunan

d.      Hak Pakai

e.       Hak Sewa Tanah Bangunan

f.       Hak Pengelolaan

2.      Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :

a.       Hak Gadai

b.      Hak Usaha Bagi Hasil

c.       Hak Menumpang

d.      Hak Sewa Tanah Pertanian



Pencabutan Hak Atas Tanah Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang–undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda–benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tadi. Kemudian jika pemilik tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan keberatan dengan naik banding pada pengadilan tinggi.



Azas-azas hukum agraria

Asas nasionalisme

Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.

Asas dikuasai oleh Negara

Yaitu bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat 1 UUPA)

Asas hukum adat yang disaneer

Yaitu bahwa hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum agrarian adalah hukum adat yang sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya

Asas fungsi social

Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain dan kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan(pasal 6 UUPA)

Asas kebangsaan atau (demokrasi)

Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa stiap WNI  baik asli maupun keturunan berhak memilik hak atas tanah

Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan)

Yaitu asas yang melandasi hukum Agraria (UUPA).UUPA tidak membedakan antar sesame WNI baik asli maupun keturunanasing jadi asas ini tidak membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak artinya bahwa setiap WNI berhak memilik hak atas tanah.

Asas gotong royong

Bahwa segala usaha bersama dalam lapangan agrarian didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk-bentuk gotong royong lainnya, Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria (pasal 12 UUPA)

Asas unifikasi

Hukum agraria disatukan dalam satu UU yang diberlakukan bagi seluruh WNI, ini berarti hanya satu hukum agraria yang berlaku bagi seluruh WNI yaitu UUPA.

Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel)

Yaitu suatu asas yang memisahkan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya. Asas ini merupakan kebalikan dari asas vertical (verticale scheidings beginsel ) atau asas perlekatan yaitu suatu asas yang menyatakan segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda iu artnya dala sas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya.



Senin, 09 Juli 2012

Tugas Hukum Agraria ; Hukum Agraria Pada Masa Kolnial



Pada tangga1 24 September 1960, Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria” (Lembaga Negara 1960 No.104 n). Dengan lahirnya Hukum Agraria Nasional dengan nama populer UUPA,maka secara total hukum Agraria Kolonial dihapuskan. Dengan hapusnya hukum Agraria Kolonial, maka rakyat Indonesia untuk dapat menikmati sepenuhnya Bumi, Air, ruang angkasa dan kekayaan alam Indonesia ini. Hak-hak atas tanah yang dipunyai oleh rakyat tani yang selama ini tidak mempunyai .iaminan yang kuat, sekarang dengan berlega hati, telah dapat meminta agar tanahnya dapat diberi perlindungan dengan hak-hakyang diberikan kepadanya. Hukum Agraria Nasional (UUPA) yang merupakan perombakan hukum Agraria Kolonial bertujuan untuk memperbaiki kembali hubungan manusia Indonesia dengan tanah yang selama ini sudah tidak jelas lagi.  Perombakan hukum agraria kolonial itu dimaksudkan untuk merobah hukum kolonial kepada hukum nasional sesuai dengan cita-cita nasional, khususnya para petani. Selain itu untuk menghilangkan dualisme hukum yang berlaku serta memberikan kepastian hukum atas hak-hak seseorang atas tanah.
Pada masa colonial hukum agrarian sendiri terbagi ke menjadi beberapa periode :

1.     MASA KERAJAAN
Pada masa kerajaan, para raja mengklaim sebagai pemilik tanah yang ada dalam kekuasaannya. Inilah cikal bakal domein verklaring. (terdapat mekanisme yang berbeda-beda atas pengklaiman raja terhdap tanah yang ada dalam kekuasaannya). Sehingga rakyatnya harus membayar pajak atas tanah tempat mereka tinggal.

2.     MASA PENJAJAHAN
Sesuai dengan prinsip yang dianut oleh pemerintah jajahan pada waktu itu  untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah dengan cara memberi hak-hak yang istimewa kepada pihak penjajah dan kepastian hak, maka hukum agraria yang berlaku pada waktu itu menjadi beraneka ragam. Sesuai dengan kondisi dan situasi dan perbedaan hukum golongan masyarakat.

Sesuai dengan sistem pemerintahan pada jaman Hindia Belanda,daerah Indonesia dibagi atas 2 bagian yang mempunyai lingkungan hukum sendiri yaitu :
1.     Daerah yang diperintah langsung oleh atau atas nama Pemerintah Pusat  dan disebut dengan Daerah Gubernemen.
2.     Daerah-daerah yang tidak diperintah langsung oleh Pemerintah Pusat  yang disebut dengan daerah swapraja.

Sebagai realisasi dan keinginan pemerintah jajahan untuk mengeruk  keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil pertanian di Indonesia pemerintah berusaha mempersempit kesempatan pihak-pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan yang kuat atas tanah-tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak eigendom. Kepada para pengusaha oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa atas tanah-tanah kosong dengan waktu yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20 tahunsebagai hak persoonliij. Tanah tersebut tidak dapat dijadikan  jaminan hutang. Demikian juga dengan hak erfpacht oleh pemerintah tidak dapat diberikan,karena masih menghargai hak-hak adat yang tidak rnengenal adanya hak erfpact. Adanya peraturan-peraturan pertanian besar akan bertentangan dengan politik perekonomian Pemerintah (CultuursteIseI) yang memaksa penduduk menanam tanaman tertentu sesuai dengan yang diperintahkan.

3.     AWAL KEMERDEKAAN
Meskipun bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya serta  menciptakan suatu landasan ideal dan Undang-undang Dasar, namun untuk melakukan perombakan hukum kolonial secara total tidak mungkin dapat dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Beberapa ketentuan agraria baru sebagai awal dari perombakan agrarian Kolonial antara lain:

1.     Pengawasan terhadap Penindakan Hak-Hak Atas Tanah. Oleh karena belum ada waktu yang cukup untuk mengatur kedudukan tanah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pasal 33(3) Undang-Undang Dasar 1945 maka untuk menyelamatkan aset negaral, agar dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang kelak dibuat yang mengutamakan hak warga negara tidak semakin sulit perlu pengawasan tentang pemindahan hak-hak Barat baik berupa serah pakai atau dengan cara lainnya yang melebihi jangka waktu 1 tahun undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1952, menentukan tentang pemindahan hak tanah-tanah dan benda tetap lainnya, menyebutkana penyerahan hak pakai buat lebih dari setahun dari setahun perbuatan pemindahan hak mengenai tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tahluk hukum Eropah hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri Agraria

2.     Penguasaan Tanah-Tanah. Sesuai dengan domein yang dianut oleh hukum agraria pada jaman kolonial, yang mengatakan bahwa semua tanah yang diatasnya tidak ada eigendom seseorang atau milik menurut hukum adat adalah milik negara yang bebas (vrijland'sdomein).  Pada jaman penjajahan Jepang untuk memperlancar usaha-usaha maka fungsi vrijlandsdomein ini mulai menyimpang. Kepada instansi atau departemen diberi keleluasaan untuk mempergunakan hak tanah sebagaimana yang dikehendakinya bahkan banyak pindahtangankan atau diterlantarkan. Untuk menertibkan keadaan ini pemerintah mengeluarkan suatu peraturan tentang Penguasaan Tanah Negara ini yaitu P.P Nomor 8 Tahun 1953. Di dalam Peraturan pemerintah ini dijelaskan bahwa penguasaan atas tanah negara diserahkan Menteri Dalam Negeri kecuali jika penguasaan ini oleh Undang-undang atau peraturan lain telah diserahkan kepada suatu kementerian.


3.     Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat. Sebagai akibat dari pemakaian tanah-tanah oleh rakyat yang bukan haknya (tanah negara atau tanah hak orang lain), yang pada masa penjajahan Jepang di perkenankan untuk menimbulkan krisis bahan makanan, di kwatirkan keadaan ini semakin menimbulkan masalah, banyak tanah-tanah perkebunan menjadi sasaran penggarapan rakyat, hingga keadaan perkebunan semakin memprihatinkan. Untuk mencegah semakin meluasnya penggarapan yang dilakukan oleh rakyat terhadap tanah-tanah perkebunan dimaksud, maka dengan Undang-Undang Darurat nomor 8 Tahun 1954., ditetapkan bahwa kepada Gubernur ditugaskan untuk mengadakan perundingan antara pemilik perkebunan dan rakyat penggarap mengenai penyelesaian pemakaian tanah itu. Di dalam penyelesaian pemakaian ini harus diperhatikan kepentingan rakyat, kepetingan penduduk di tempat letaknya perkebunan dan kedudukan Jun dalam perekonomian negara.

4.     Penghapusan Tanah- Tanah Partikulir. Sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam landasan  ideal Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menginginkan adanya  kehidupan yang adil dan merata sesuai dengan sila keadilan sosial bagi seluruh  rakyat Indonesia, maka ketentuan-ketentuan pertanahan yang berlaku pada zaman Hindia Belanda yang nyata-nyata bertentangan dengan rechts-idea bangsa Indonesia harus segera dihapuskan, 'Ketentuan yang bertentangan itu antara lain pengakuan  tentang tanah-tanah partikulir. Oleh karena itu maka dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikulir ini dihapuskan. Yang dimaksud dengan tanah partikulir dalam Undang-Undang inilah tanah eigendom di atas mana pemiliknya sebelum Undang-Undangi berlaku mempunyai hak-hak pertuanan (Pasal I UU No. I Tahun 58).

4.     LAHIRNYA HUKUM AGRARIA NASIONAL
Undang-Undang Pokok Agraria yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960, dengan nama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah merupakan penjabaran dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Setelah 15 tahun Indonesia merdeka apa yang menjadi borok dalam daging tentang betapa ketentuan-ketentuan pertanahan yang berlaku pada zaman Hindia belanda yang nyata-nyata merugikan bangsa Indonesia baru tanggal 24 september 1960, dapat dirombak secara total. Di dalam konsiderans menimbang jelas disebutkan tentang motivasi penyusunan undang-undang ini, yaitu :
a.     bahwa Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya masih bercocok agraria, bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur.
b.     bahwa hukum Agraria yang berlaku sekarang ini masih berdasarkan tujuan dan sendiri sendiri pemerintah jajahan dan sebahagian lagi dipengaruhi olehnya sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat.
c.      bahwa agraria yang berlaku itu bersifat dualisme.
d.     hukum negara tersebut tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat. Oleh sebab itu dengan berlakunya undang-undang ini, peraturan-raturan agraria yang berlaku sebelumnya dihapuskan.

Didalam penjelasan Undang-Undang ini dengan tegas dikatakan, bahwa  hukum agraria nasional ini harus mewujudkan penjelmaan dari azas kerohanian  negara dan cita-cita bangsa, khususnya pelaksanaan dari Pasal ayat (3) Undang- Undang Dasar I945. Oleh karena undang-undang ini sifatnya merupakan peraturan  dasar, yang walaupun kedudukannya sama dengan undang-undang secara formil,  namun dengan sifatnya maka peraturan ini hanya memuat azas-azas yang pokokpokoknya  saja yang selanjutnya akan diatur dengan Undang-Undang Peraturan  Pemerintah dan Peraturan Perundangan lainnya. Di dalam penjelasan undang-undang ini juga dicantumkan tujuan dibentuknya Undang-undang ini yaitu :
1.     Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan  merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian dan keadilan  bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
2.     Meletakkan dasar-dasaruntuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3.     Meletakkan dasar-dasar untuk mernberikan kepastian hukum rnengenai  hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Jika ditinjau memori Penjelasan dan UUPA tersebut ada 4 (empat) katagori dasar yang termuat didalamnya yang menjadi perhatian.